Senin, 27 Juni 2022

BI Rate TURUN/Naek (Reverse Repo Rate), RD Pendapatan Tetap TUMBUH ... 050318_021021

Bahkan selama pandemi investasi Reksa Dana Pendapatan Tetap n Campuran mase bisa tumbuh: 

🍅



Bisnis.com, JAKARTA - Lo Kheng Hong atau investor yang kerap dijuluki sebagai Warren Buffet Indonesia mengaku reksa dana pendapatan tetap menjadi salah satu investasi favorit pilihannya.

Dalam video yang diunggah oleh Simas Invest, Lo Kheng Hong mengungkapkan bahwa reksa dana pendapatan tetap, khususnya produk Danamas Stabil yang dikelola Sinarmas AS, menjadi pilihan investasi favoritnya selain saham.

“Uang yang belum saya belikan saham biasanya saya taruh di sana. Ketika saya membeli saham, uang itu bisa saya tarik setiap saat,” ujar Lo Kheng Hong.

Dia pun menjelaskan, kinerja Danamas Stabil baik dan memiliki dana kelolaannya yang juga sangat besar. Bahkan, produk itu memperoleh penghargaan.

Adapun, Lo Kheng Hong mengungkapkan tidak menaruh uang di produk reksa dana Manajemen Investasi lain, selain Sinarmas AM.

Kendati telah ditetapkan sebagai salah satu tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero), Pak Lo, sapaan akrabnya, mengaku merasa aman melakukan investasi di Sinarmas AM.

Hal itu dikarenakan Sinarmas AM sebagai salah satu entitas grup Sinarmas atau konglomerasi yang sangat kuat dalam soal keuangan dan termasuk ke dalam keluarga terkaya nomor dua di Indonesia.

“Uang saya aman, saya bisa tidur nyenyak di malam hari, tanpa khawatir kalau uang saya tidak bisa ditarik kembali,” ujar Pak Lo.

Di sisi lain, Para tersangka korporasi dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) akan dimintai keterangan oleh Kejaksaan Agung hari ini, Selasa (7/7/2020).

Hal itu diungkapkan oleh kuasa hukum dua manajer investasi, Hotman Paris Hutapea. Dalam unggahan di media sosial Instagram pribadinya, Hotman menyebut dirinya akan mendampingi dua klien manajer investasi pada hari ini, Selasa (7/7/2020) mulai pukul 08.30 pagi.

Untuk diketahui, Hotman telah ditunjuk oleh dua manajer investasi sebagai kuasa hukum, yaitu PT MNC Asset Manajemen dan PT Sinarmas Asset Management. Kedua perusahaan ini sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka korporasi dalam kasus Jiwasraya.

🍎
Bisnis.com,JAKARTA— Instrumen reksa dana pendapatan tetap atau fixed income layak dipertimbangkan oleh investor di tengah terbukanya ruang pemangkasan BI 7-Day Reverse Repo Rate pada Juni 2020.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 18 Mei 2020–19 Mei 2020 memutuskan masih mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 4,50 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 5,25 persen. 
Kendati demikian, Pengamat Pasar Modal Anil Kumar memprediksi BI memiliki kesempatan untuk memotong BI7DRR 50 basis points (bps) pada Juni 2020. Dia mencontohkan langkah serupa yang telah ditempuh oleh Brazil dan Afrika Selatan.
Kedua negara itu, lanjut dia, memiliki masalah yang serupa dengan Indonesia yakni masalah current account deficit (CAD)Sejak Juni 2019 hingga Mei 2020, Brazil telah memangkas suku bunga 3 persen dan Afrika Selatan 3,5 persen.
Bahkan, Brazil dan Afrika Selatan masih melakukan pemotongan suku bunga acuan pada Mei 2020 yakni masing-masing 75 bps dan 50 bps.
Anil menjelaskan bahwa kuartal II/2020, khususnya April dan Mei, merupakan periode yang cukup sulit bagi rupiah. Pasalnya, permintaan dolar Amerika Serikat (AS) naik akibat terdapat impor dalam jumlah cukup besar untuk kebutuhan lebaran dan dividen repatriasi oleh investor asing.
Pada Juni 2020, dia memprediksi permintan dolar AS akan kembali menurun. Dengan data CAD kuartal I/2020 yang mencapai 1,44 persen, kebutuhan dolar AS tahun ini menurutnya akan berkurang.
“Alhasil Juni 2020, mata uang rupiah akan lebih stabil dibandingkan dengan April 2020 dan Mei 2020. Oleh karena itu, BI akan dapat langsung memotong suku bunga referensi sebesar 50 bps ke 4 persen,” paparnya.
Anili menyebut posisi suku bunga referensi itu akan menjadi yang terendah sepanjang sejarah suku bunga di Indonesia. Dengan demikian, kondisi itu akan menjadi kabar baik bagi investor obligasi domestik untuk terus melakukan pembelian obligasi mata uang rupiah.

“Terutama reksa dana pendapatan tetap yang memiliki durasi panjang,” jelasnya.
🍒


Bisnis.com, JAKARTA—Jelang momentum Lebaran di tengah suasana pandemi virus corona (Covid-19), para investor disarankan untuk lebih menjaga profil risikonya.
Head of Market Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan saat ini menjelang momentum Hari Raya Idulfitri penyesuaian profil risiko  bisa dilakukan sejalan dengan perkembangan pandemi yang mengubah pola beraktivitas sehari-hari.
“Tahun ini kita gak bisa bilang bagaimana mengatur investasi jelang lebaran, lebih tepatnya ya bagaimana [mengatur] portofolio di tengah pandemi,” ujarnya kepada Bisnis, (12/5/2020)
Wawan menyebut diversifikasi investasi dengan skema 5-3-2 masih paling optimal untuk diterapkan saat ini. 
Skema itu meliputi  
  1. 50 persen alokasi investasi di reksa dana obligasi, 
  2. 30 persen di reksa dana pasar uang, dan 
  3. 20 persen sisanya di reksa dana saham.

Dia menegaskan, jenis reksa dana pendapatan tetap sangat disarankan karena memberikan imbal hasil paling optimal di saat situasi pandemi.
Namun, dalam situasi ini investor harus lebih cermat. Dia beralasan, belakangan ini sudah ada beberapa emiten yang prospeknya nya direvisi menjadi negatif oleh lembaga pemeringkat.

Maka dari itu, Wawan mengingatkan investor untuk waspada karena risiko gagal bayar (default) bagi surat utang korporasi akan meningkat. Dia menyarankan untuk memperbesar porsi di produk dengan underlying aset obligasi negara.
“[Reksa dana berbasis obligasi] Corporate masih oke, tapi mungkin harus dilihat yang ratingnya minimal [peringkat] single A lah. Intinya kalau saat seperti ini lebih baik menjaga profil risiko,” tutur Wawan.
Untuk alokasi kedua, pilihan reksa dana pasar uang dinilai masih menjadi yang paling aman. Terlebih,  apalagi mayoritas reksa dana menaruh asetnya di deposito yang risikonya tentu sangat terukur.
Wawan juga menyarankan bagi investor yang baru mendapatkan tunjangan hari raya (THR) dan ingin menaruhnya di reksa dana untuk memilih reksa dana pasar uang. Pasalnya, likuiditas reksa dana jenis ini paling tinggi.
“Untuk dana segar seperti THR lebih baik di [reksa dana] pasar uang, karena pandemi Covid-19 ini kan kita tidak tahu akan sampai kapan, jadi kalau tiba-tiba butuh dana darurat bisa langsung dicairkan,” katanya.
Kemudian alokasi ketiga atau yang terakhir baru ke reksa dana saham. Namun, Wawan menggarisbawahi investasi di reksa dana jenis ini harus ditujukan untuk jangka panjang mengingat situasi pasar saat ini.
“Menurut saya saham ini harus dipahami, harus betul-betul long term,” tukasnya.
🍇


per tgl 06 Maret 2020, tren REKSA DANA PENDAPATAN TETAP (SDMP II, MONI II) dibandingkan dengan Reksa Dana Saham (BNP Paribas Ekuitas, Schroder Dana Istimewa), sbb: 
🍈

per tgl 28 Februari 2020, tren REKSA DANA PENDAPATAN TETAP neh dalam 5 taon sbb: 


dalam 2 taon terakhir, tren NAB 4 RDPT yang JO inves sbb:

🍓


per tgl 06 Januari 2020, tren reksa dana pendapatan tetap mase oke lah : 
Tren penurunan suku bunga acuan yang ditopang oleh terkendalinya tingkat inflasi di dalam negeri, akan sangat menguntungkan pasar obligasi. Membaiknya pasar obligasi di Tanah air diperkirakan masih akan berlanjut hingga tahun 2020.
Edward Parlindungan Lubis, Presdir Bahana TCW Investment Management mengemukakan, membaiknya pasar obligasi, termasuk produk turunannya berupa reksa dana fixed income, seperti mengimbangi minimnya performa pasar saham, dan reksa dana saham.
“Kalau tahun 2019 ini memang tahun yang gemilang untuk obligasi, bagus sekali. Rata-rata return obligasi khususnya yang jangka panjang return-nya bisa sampai 12%-13%. Dari kupon mereka bisa mendapatkan 6% sampai 7%, dan sisanya capital gain,” kata Edward dalam satu kesempatan di pertengahan Desember 2019 lalu kepada Majalah Investor (12/12/2019).
Tentunya penurunan tingkat suku bunga acuan yang membuat performa obligasi jadi lebih mentereng. Namun dikatakan Edward, penurunan suku bunga bisa menjadi cerminan bahwa telah terjadi perlambatan ekonomi, sehingga risiko peningkatan inflasi pun dengan sendirinya bisa lebih rendah. “Jadi inflasi kita itu rendah akibatnya bunga Jadi inflasi kita itu rendah akibatnya bunganya menyesuaikan, dari Bank Indonesia menyesuaikan,” ujarnya. “Biasanya kalau ekonomi melambat, obligasi jadi menarik,” imbuhnya.
Edward memprediksi produk investasi berbasis surat utang termasuk reksa dana obligasi setidaknya masih akan menarik hingga semester I tahun 2020. Salah satu alasannya, perlambatan ekonomi diduga masih akan berlanjut hingga tahun depan, dan kondisi ini masih diperparah oleh ketidakjelasan dialog antara Tiongkok dan Amerika Serikat terkait perang dagang. Kendati telah ada kesepakatan fase awal untuk menangguhkan penerapan bea masuk produk Tiongkok ke AS, namun banyak pihak masih meragukan kelanjutan dialog tersebut.
"Belum lagi sekarang Brexit juga tidak jelas. Itu yang paling berat.  Jadi begitu diumumkan Inggris akan keluar dari Uni Eropa, perusahaan-perusahaan sudah pada kabur dari Inggris," papar Edward. Ketidakjelasan Brexit, ujarnya, dipastikan ikut menyumbang perlambatan ekonomi dunia. Dan perlambatan ekonomi tentunya bisa diasosiasikan dengan periode suku bunga acuan yang rendah, yang pada ujungnya menguntungkan bagi produk investasi berbasis surat utang,
Namun demikian, investor tetap disarankan untuk membagi alokasikan dananya di produk investasi lain atau reksa dana lainnya. Produk reksa dana lainnya yang diproyeksikan masih akan menarik adalah pasar uang.
Dikatakannya, banyak investor ritel yang tengah menunggu membaiknya pasar saham, memilih memarkir dana investasinya d reksa dana pasar uang. Dengan yield sekitar 5%-6%, setidaknya reksa dana pasar uang masih memberikan tingkat return yang memadai, ketimbang berspekulasi di pasar saham.
Edward juga memprediksi, industri reksa dana di tahun 2020 akan banyak ditopang oleh produk reksa dana fixed income dan pasar uang. Reksa dana proteksi juga diperkirakan makin diminati oleh investor, walaupun produk reksa dana terproteksi ini akan mulai dikenai kenaikan pajak atas bunga menjadi 10% pada tahun 2021. Saat ini pajak atas bunga reksa dana terproteksi masih sebesar 5%.
“Reksadana fixed income dan proteksi masih cukup convenient buat pasar, karena bisa dibeli dalam skala yang kecil. Daripada dia harus beli Bond langsung, dia harus kumpulkan dana lebih banyak,” kata Edward.
Mengomentari sejumlah kasus gagal bayar manajer investasi beberapa bulan lalu, yang diikuti oleh aksi redemption yang cukup besar di sejumlah manajer investasi berskala menengah, Edward mengaku dalam jangka pendek hal ini bisa memengaruhi appetite investor untuk masuk ke pasar reksa dana. Namun bukan kebetulan juga bahwa kinerja pasar saham di tahun 2019 juga kurang memadai karena tingkat return yang ditawarkan justru negatif.
Sejumlah manajer investasi yang mengalami redemption cukup besar, diduga kuat adalah MI yang pada saat penawarannya memberikan jaminan Return. Kemudian mereka juga menempatkan alokasi investasinya pada saham-saham yang pergerakannya kinerjanya bisa dikatakan anomali, atau tidak terkorelasi dengan pasar. “Secara historical mungkin NAV-nya tidak terpengaruh oleh pasar. Tiba-tiba sekarang saham-saham yang menjadi andalan mereka itu turun terus, NAV-nya jadi buruk. Dan mungkin selama ini investornya juga tidak sadar,” kata Edward.
Sumber : Majalah Investor
🍎

per tgl 16 Desember 2019, tren Reksa Dana Pendapatan Tetap yang JO inves melampaui tren NAB rdSAHAM, yang JO juga inves neh : 
🍑


per tgl 30 September 2019, tren SDMP II, MONI 11, SDI (Schroder dana Istimewa), n BNPPE (bnp paribas EKUITAS) tetap positif imbal hasilnya. Yang lebe gede hasilnya reksa dana pendapatan tetap : SDMP II n MONI II seh. JO juga inves @ reksa dana ini lah : 
periode November-Desember 2019 mungkin akan MEMBALIKKAN arah imbal hasil Reksa Dana SDI n BNPPE seh!
🍒


per tgl 06 September 2019: tren SDMP II n MONI II mase di atas tren NAB Schroder Dana Prestasi (reksa dana berbasis saham) n IHSG (indeks harga saham gabungan): 

🍇

per tgl 19 Juli 2019: Ini tren NAB reksa dana pendapatan tetap, sbb: 







Reksa Dana Pendapatan Tetap berbasiskan investasi manajer investasi @ obligasi /surat utang. Baik negara mau pun swasta. 

JAKARTA sindonews - Kebijakan Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan atau BI 7- days (reverse) repo rate (BI 7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75% diyakini akan baik untuk pasar obligasi Indonesia.

Senior Portfolio Manager Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Syuhada Arief melihat potensi lebih lanjut untuk pasar obligasi Indonesia. Iklim pasar finansial sangat mendukung pasar obligasi domestik. 

"Kebijakan The Fed lebih akomodatif, penurunan suku bunga Bank Indonesia, serta kenaikan peringkat kredit Indonesia dari S&P menjadi faktor-faktor yang positif bagi pasar obligasi Indonesia," ujar Syuhada di Jakarta, Jumat (19/7/2019).


Dia juga menilai saat ini sekitar 29% dari obligasi di dunia (sekitar USD12,5 triliun) berada pada level imbal hasil negatif. Kondisi ini berpotensi mendorong global yield hunt, yaitu investor akan mencari investasi yang masih menawarkan imbal hasil positif. "Pasar obligasi Indonesia dapat diuntungkan dari situasi ini karena obligasi Indonesia menawarkan imbal hasil yang tinggi," tambahnya.

Kondisi makroekonomi juga positif, di mana nilai tukar rupiah bergerak stabil, dan kondisi politik pasca pemilu sudah lebih tenang. Kondisi semua hal tersebut menciptakan iklim yang sangat kondusif bagi pasar obligasi domestik. "Kesimpulannya, kami memandang masih ada upside potential untuk pasar obligasi Indonesia ke depannya," ujar dia.

Dia juga mengatakan perseroan masih memandang positif potensi pasar obligasi Indonesia dan akan memanfaatkan momentum positif ini portofolio sehingga menyusun postur yang agresif dengan posisi overweight terhadap benchmark. Tentunya posisi ini dapat berubah dari waktu ke waktu tergantung pada dinamika pasar kedepannya. 

"Beberapa faktor yang mengubah pandangan kami saat ini apabila ada perubahan ekspektasi terhadap pertumbuhan ekonomi global. Perubahan ekspektasi mengenai suku bunga The Fed, dan apabila tensi dagang memanas dan berpotensi terjadinya eskalasi perang dagang besar-besaran atau meluas mencakup negara lain," ujarnya.

🍇
per tgl 12 April 2019, tren Nilai Aktiva Bersih (harga beli/jual reksa dana) reksa dana pendapatan tetap (Rp) dalam jangka panjang sbb: 

KONTAN.CO.ID - Reksadana sudah lama akrab dengan Aura Kasih. Aktris sekaligus penyanyi bernama asli Shahiyani Febri Wiraatmadja ini berinvestasi di reksadana sejak 2009 lalu.
Tapi, baru dua tahun belakangan perempuan kelahiran Bandung ini menanamkan uangnya di semua jenis reksadana. Sebelumnya, dia hanya membeli reksadana saham.
Meski mayoritas masih reksadana saham, koleksi reksadana Aura sekarang komplet, mulai pasar uang, pendapatan tetap, hingga campuran. “Sudah mulai terbiasa dan kini menambah koleksi,” ungkapnya yang mengenal reksadana dari sejumlah teman.
Bagi Aura, keunggulan reksadana cukup banyak. Misalnya, dengan uang hanya Rp 100.000 sudah bisa berinvestasi di instrumen ini.
Lalu, reksadana punya likuiditas tinggi. Investor bisa menarik duitnya kapan pun, dengan cara menjual kembali unitnya. “Ini, kan, mirip  dengan tabungan,” sebutnya.
Selain itu, risiko investasi di reksadana juga enggak gede-gede amat. Penyebabnya, manajer investasi biasanya memecah dana kelolaan reksadana ke berbagai keranjang investasi, dengan berbagai tingkat risiko serta keuntungan. Dan, yang melakukannya adalah para ahli juga profesional.
Karena itu, selama berinvestasi di reksadana, Aura mendapat cuan yang tidak sedikit, Hanya, ia merahasiakan nilainya. Yang jelas, hasil keuntungan dia pakai untuk modal usaha di bidang kecantikan dan kuliner.
Reksadana saham jadi pilihan utamanya lantaran baginya, investasi sebaiknya untuk jangka panjang. “Return yang dijanjikan tinggi, namun risiko juga lumayan tinggi,” katanya.
Tambah lagi, Aura memang dari dulu tertarik dunia saham. Tapi, karena kesibukannya sebagai artis dan risiko yang tinggi, dia pun memilih reksadana saham. “Ada manajer investasi yang bantu mengurus,” ujarnya.

Sebab itu, dalam memilih produk reksadana, ia lebih memperhatikan nama besar manajer investasi. Baru, kinerja dan strategi investasinya.
Sayang, ia menolak blak-blakan soal produk reksadana yang jadi pilihannya. Yang jelas, Aura yang mengawali karier sebagai finalis Miss Indonesia 2007 mengaku, saat ini sudah tidak terlalu awam lagi soal reksadana.
Menurut wanita yang 27 Februari lalu genap berusia 32 tahun ini, pengalaman panjang dalam membiakkan uang di reksadana membuatnya semakin percaya diri berinvestasi di instrumen itu. “Terus saja mencoba, nanti juga paham seluk beluknya,” saran pemeran Bu Klara dalam film The Sacred Riana: Beginning yang rilis 14 Maret ini.
🍒










Bisnis.com, JAKARTA – Reksa dana pendapatan tetap tercatat memberikan imbal hasil yang paling tinggi pada bulan lalu, ditopang oleh meredanya tekanan dari sisi kenaikan suku bunga.
Berdasarkan data Infovesta Utama, return reksa dana pendapatan tetap pada Maret 2019 tercatat 1,06%, mengungguli imbal hasil produk reksa dana lainnya. 
Selanjutnya, kinerja reksa dana campuran tercatat 0,73% yang diikuti oleh reksa dana pasar uang sebesar 0,42%. Adapun, reksa dana saham menempati posisi terbawah dengan mencatatkan kinerja sebesar 0,19%. 
Bonny Iriawan, Executive Vice President Intermediary Business Schroders Indonesia, memaparkan bahwa potensi Bank Indonesia untuk menahan atau bahkan menurunkan suku bunga menjadi angin segar bagi kinerja reksa dana pendapatan tetap.
Adapun tekanan BI untuk menaikkan suku bunga dalam rangka menjaga nilai tukar rupiah mulai berkurang sejak Bank Sentral AS (Federal Reserve) mengeluarkan pernyataan dovish untuk menaikkan suku bunga hanya satu kali sebesar 25 bps pada tahun ini.
"Bahkan mungkin tidak harus naikkan Fed Funds Rate kalau inflasi di AS moderat. Ekspektasinya dolar AS tidak berlanjut menguat sampai akhir tahun," kata Bonny kepada Bisnis pada Senin (1/4/2019).
Oleh karena itu, kini aliran dana asing pun mulai kembali ke emerging market termasuk Indonesia, sehingga nilai tukar rupiah bergerak stabil. Dengan demikian, BI pun dinilai tidak perlu lagi mengerek suku bunga lebih jauh. 
Bahkan dengan inflasi yang terjaga di level 0,11% m-o-m pada Maret, atau lebih rendah dibandingkan dengan konsensus sebesar 0,14%, Bank Indonesia juga dinilai justru berpotensi untuk menurunkan suku bunga. Adapun inflasi secara tahunan tercatat 2,48%.
Bonny sepakat bahwa aset obligasi kini memang menarik dibandingkan dengan saham setidaknya hingga akhir tahun. Namun demikian, investasi di saham tetap direkomendasikan untuk jangka panjang.
"Bukan berarti alihkan dari saham ke pendapatan tetap. Tetap investasi di saham (jangka panjang), meski secara alokasi aset, obligasi lebih menarik daripada saham setidaknya sampai akhir tahun," imbuh Bonny.
Adapun secara year-to-date per 29 Maret 2019, indeks reksa dana pendapatan tetap juga menjadi satu-satunya reksa dana yang berkinerja melampaui indeks acuannya sebesar 2,99%.
Infovesta Utama mencatat dalam laporan mingguannya, kinerja positif dari indeks reksa dana pendapatan tetap pada bulan lalu juga ditopang oleh kinerja Infovesta Government Bond Index sebesar 1,13%. Sementara itu, Infovesta Corporate Bond Index turut mencetak kinerja bulanan positif sebesar 0,51%.
Selanjutnya Infovesta mencatat 57,51% dari total 313 produk reksa dana pendapatan tetap juga melampaui kinejra Infovesta Fixed Income Fund Index.


🍉



Bisnis.com, JAKARTA - Investor disarankan untuk memilih strategi investasi yang terstruktur dengan tingkat risiko yang cukup kecil di tengah adanya peninjauan kembali asumsi nilai harga acuan (repricing) terhadap sejumlah aset investasi.
Pasalnya, repricing ini berpotensi meningkatkan risiko ketidakpastian. Risiko repricing ini mulai terlihat dari pergerakan imbal hasil obligasi Indonesia. Berdasarkan data Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), Indonesia Composite Bond Index (ICBI) melemah 0,3% dalam sepekan terakhir.

"Untuk mengurangi risiko repricing, investor bisa mengalihkan portofolio ke investasi atau reksa dana yang memberi yield tetap," kata Edward Lubis, President Direktur PT Bahana TCW Investment Management melalui keterangan resmi yang diterima, Senin (5/3/2018).
Hal ini bertujuan agar investor tetap memperoleh kestabilan imbal hasil atau return dalam berinvestasi, terhindar dari risiko repricing yang terjadi di pasar saham dan obligasi (fixed income), serta memberikan perlindungan modal (capital protective).
Dia menambahkan, jika kondisi pasar sudah lebih stabil memperoleh kepastian dari rencana kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) dari The Fed, maka investor bisa mengalihkan lagi portofolio ke pasar modal.
Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menambahkan, kebijakan pemotongan pajak yang diterapkan Pemerintah AS akan memangkas penghasilan negara.
Sementara itu, AS juga memiliki rencana untuk pembangunan infrastruktur yang memakan biaya yang cukup besar. Oleh sebab itu, Pemerintah AS diduga akan meminjam utang dalam jumlah besar.
"Pemulihan ekonomi di AS akan memicu risiko inflasi AS yang lebih tinggi dari 1,8% menjadi 2,1% pada akhir tahun. Hal ini akan mendorong kenaikan yield US Treasury yang menjadi acuan dari bond negara lainnya," jelasnya.
Bahana melihat bahwa aksi repricing telah membuat kenaikan imbal hasil surat utang negara (SUN) Indonesia, namun kondisi ini sebenarnya bisa dimanfaatkan investor untuk mulai mengatur ulang portofolio mereka. "Saat ini merupakan kesempatan bagi investor lokal untuk melirik yield yang naik ini dan melakukan rebalancing asset," sambungnya.
Potensi dari risiko repricing juga diproyeksi akan terjadi pada pasar modal Indonesia. Akan tetapi, Bahana TCW Investment Management optimistis kondisi pasar modal Indonesia akan tetap positif dalam menghadapi dinamika perubahan pasar global.
Sebab, motor penggerak pasar modal Indonesia lebih banyak. Dari sisi internal, Indonesia memiliki bonus demografi penduduk berusia muda dan urbanisasi. Adapun dari sisi eksternal, harga komoditas dari sektor energi, termasuk batubara dan pertambangan mineral lainnya mengalami pemulihan.
Tak hanya itu, berbagai sentimen internal yang mewarnai pada tahun ini akan menjadi nilai positif bagi pasar modal Indonesia. Misalnya, kondisi tahun politik yang diwarnai dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di banyak wilayah di Indonesia akan mendorong belanja konsumsi masyarakat.
Hal ini menjadi stimulus positif bagi beberapa sektor seperti sektor konsumsi dan media. Kemunculan bisnis digital seperti e-commerce juga akan meningkatkan ekonomi usaha kecil dan menengah (UKM), sektor bank, dan telekomunikasi. Pembangunan infrastruktur pemerintah juga akan menambah nilai bagi sektor properti.
"Sementara itu, potensi kenaikan pada kondisi obligasi Indonesia tak akan cukup besar, namun kenaikan yield obligasi bisa menjadi kesempatan bagi investor lokal sebagai penyeimbang aset," ujarnya.
Soni Wibowo, Direktur Riset dan Kepala Investasi Alternatif PT Bahana TCW Investment Management, menuturkan Bahana memiliki produk reksa dana yang lengkap dan terstruktur dalam mengurangi risiko repricing ini, baik reksa dana di pendapatan tetap maupun reksa dana saham.
“Untuk saham, kami tetap mengacu pada saham-saham yang defensif terhadap volatilitas market dengan mengacu acuan indeks LQ45 dan IDX 30,” ungkap Soni.
🍣


TEMPO.COJakarta -Analis Schroder Investment Management Ricky Samsico memprediksi kinerja reksadana pendapatan tetap akan tetap cukup baik pada 2018 . “Tahun depan boleh dikatakan masih cukup baik,” kata dia saat dihubungi, Minggu, 22 Oktober 2017.
Ricky memprediksi hal itu sebab melihat kondisi perekonomian Indonesia yang masih cukup baik dan tingkat inflasi yang masih terkontrol. “Inflasi paling sampai akhir tahun 3 persen, jadi masih terkendali,” kata dia.
Ricky juga optimistis kinerja reksadana pendapatan akan cukup baik, sebab tahun depan terdapat banyak hajatan penting di negeri ini seperti, persiapan Pemilihan Umum Presiden 2019 dan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Serempak 2018 di beberapa provinsi besar seperti di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. “Itu akan membuat ekonomi tumbuh,” kata dia.



Sebelumnya, reksadana pendapatan tetap mencatat performa gemilang pada September 2017. Menurut data Infovesta Utama yang dirilis Senin (2/10), Infovesta Fixed Income Fund Index mencatat kinerja 8,83% year to date (ytd) dan 1,04% month to month (mom).
Ricky juga mengatakan saat ini reksadana pendapatan tetap untuk sementara mengalami kinerja yang sangat baik tahun ini. Ricky mengatakan return reksadana dana tetap mencatat kinerja lebih dari sepuluh persen year to date. “Return-nya baik bagus sekali sudah di atas 10 persen. Itu yang investasi dari Januari sampai Oktober,” kata dia.
ROSSENO AJI NUGROHO

Read more at https://bisnis.tempo.co/read/1026996/2018-performa-reksadana-pendapatan-tetap-diprediksi-gemilang?BisnisUtama&campaign=BisnisUtama_Click_1#lSSRPHl0KVCedM0L.99



👫
JAKARTA okezone- Menurut Direktur Investasi PT Sucorinvest Asset Management Indonesia, Jemmy Paul Wawointana, produk reksa dana pendapatan tetap (RDPT) cenderung diminati investor seiring dengan peringkat Indonesia berada di level layak investasi (investment grade).

”Reksa dana pendapatan tetap cenderung diminati investor saat ini, seiring dengan peringkat Indonesia di level investment grade," ujarnya di Jakarta.
Dia mengemukakan bahwa minat investor terhadap reksa dana pendapatan tetap itu adalah karena komposisi portofolio di dalam produk itu sebagian besar atau sekitar 80% berisi surat utang atau obligasi.
Dengan peringkat investment grade, lanjut dia, maka akan memperbaiki yield obligasi di dalam negeri sehingga investor maupun manajer investasi semakin antusias mengakumulasi obligasi, terutama milik pemerintah.
Di sisi lain, lanjut dia, inflasi yang terjaga di dalam negeri juga menjadi salah satu faktor yang memicu investor dan manajer investasi untuk mengakumulasi obligasi yang akhirnya berimbas positif pada kinerja reksa dana pendapatan tetap.
Dirinya menambahkan bahwa inflasi yang terjaga juga turut memicu suku bunga acuan Bank Indonesia (BI 7-day Reverse Repo Rate) turun. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21-22 Agustus 2017 memutuskan untuk menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps dari 4,75% menjadi 4,50%.
Sementara itu, Direktur Utama Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Wahyu Trenggono mengatakan bahwa obligasi domestik tercatat memberikan imbal hasil sekitar 13,3% pada periode Januari hingga 8 September 2017, lebih tinggi dibandingkan pasar saham sebesar 10,58%. ”Kondisi ekonomi Indonesia yang kuat dan sentimen positif dari bank-bank sentral global mendukung kinerja obligasi," katanya.
Dia menambahkan bahwa di tengah psar obligasi yang positif itu ada indikasi pergerseran arah investasi investor dari saham ke obligasi. Investor asing tercatat membukukan beli bersih (net buy) dalam instrumen obligasi sebesar Rp125,71 triliun sejak awal tahun hingga 7 September 2017. Sementara di pasar saham investasi asing cenderung berkurang.

(mrt)
💭
per tgl 15 Sep 2107, tren NAB MONI 2 tampaknya maseh naek neh : 




JAKARTA – Dana asing belum keluar dari pasar modal Indonesia. Investor asing hanya mengalihkan dananya dari pasar saham ke instrumen surat utang (obligasi). Hal itu bisa dilihat dari aksi jual bersih investor asing atau net sell di pasar saham yang terus terjadi hingga kemarin.


cek d tren Nilai Aktiva Bersih Manulife Obligasi Negara Indonesia II:
karna OBLIGASI khan menjadi Underlying Assets bwat Reksa Dana Pendapatan Tetap, contoh MONI II, SDT (Schroder dana terpadu 2):


Sementara kepemilikan asing di surat berharga negara (SBN) naik menjadi Rp 789,52 triliun per 5 September 2017 atau meningkat 18,58 persen dibandingkan posisi akhir tahun lalu sebesar Rp 665,81 triliun.

Pada perdagangan Rabu (6/9), indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) ditutup melemah 5,84 poin (0,10%) ke posisi 5.824. Pelemahan IHSG diwarnai net sell investor asing sebesar Rp 1,76 triliun, sehingga secara year to date (ytd) sudah mencatatkan net sell sebesar Rp 2,35 triliun. Padahal, pada akhir April lalu investor asing masih mencatatkan beli bersih (net buy) sebesar Rp 22,37 triliun.

Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee mengatakan, aksi net sell oleh investor asing terus berlanjut pada perdagangan hari keenam berturut-turut, Rabu (6/9). Bahkan total net sell asing pada perdagangan kemarin mencapai Rp 1,76 triliun. 

Dari jumlah itu, investor asing melakukan aksi jual sebanyak 3,45 miliar lembar saham senilai sekitar Rp 3,29 triliun. Aksi beli investor asing tercatat mencapai 497,59 juta lembar saham senilai sekitar Rp 1,53 triliun.

Hans Kwee menilai, aksi jual tersebut tidak semata-mata terjadi akibat buruknya prospek saham-saham itu. “Aksi jual asing bisa disebabkan keinginan mereka untuk menyeimbangkan portofolio,” kata dia saat dihubungi Investor Daily, Rabu (6/9).

Soalnya, lanjut dia, beberapa saham yang memiliki nilai net sell asing tinggi punya prospek cukup baik. Saham ASII contohnya. Menurut Hans, saham ini berpotensi naik, menyusul penjualan mobil mulai membaik di semester I-2017.

Namun, Hans tidak menampik ada beberapa saham yang memang memiliki prospek redup. “HSMP masih punya tantangan karena kebijakan pemerintah soal cukai rokok dan pembatasan iklan. Sedangkan LSIP terkena dampak harga CPO yang cenderung stagnan,” ujar Hans. (bersambung)

👄

Januari 2017 Return Tumbuh 1,02%, Reksa Dana Pendapatan Tetap Masih Unggul

Thursday, 02 February 2017




JAKARTA - Januari 2017, rerata produk reksa dana pendapatan tetap membukukan kinerja paling tinggi dibandingkan dengan jenis reksa dana lain di tengah kondisi pasar yang diliputi ketidakpastian global.

Berdasarkan data Infovesta Utama, indeks reksa dana pendapatan tetap naik 1,02% sepanjang Januari 2017. Kinerja indeks yang merangkum rerata kinerja produk reksa dana berbasis obligasi itu lebih tinggi dibandingkan dengan indeks reksa dana campuran yang tumbuh 0,64% dan indeks reksa dana saham yang naik 0,27% month on month.

Sepanjang Januari 2017, indeks harga saham gabungan (IHSG) terkoreksi 0,05% ke level 5.294,1 pada penutupan perdagangan Selasa (31/1).

Pada periode yang sama, Indonesia Composite Bond Index (ICBI) berada pada zona hijau dengan tingkat kenaikan 1,7% year to date.

Handy Yunianto, Head of Fixed-income Research Mandiri Sekuritas, menuturkan pasar obligasi membukukan performa yang paling bagus di pasar modal Indonesia sepanjang Januari 2017.
Kinerja positif pada awal tahun ini ditopang oleh penurunan yield surat utang negara dan aksi beli bersih investor asing di pasar SUN.

Berdasarkan data Bloomberg, yield SUN tenor satu tahun turun 28 basis poin month to date ke level 6,64% hingga 24 Januari 2017.

Pada periode tersebut, yield SUN tenor lima tahun dan 10 tahun juga melandai masing-masing 44 bps dan 46 bps ke level 7,15% dan 7,51%.

“Januari pasar obligasi berikan return hampir 2%. Harga obligasi naik karena fl ow jual-beli, di-drive asing beli bersih Rp17,3 triliun. Investor domestik pun net buy, kecuali dana pensiun,” ujarnya, Rabu (1/2). Reli di pasar obligasi menjadi faktor utama pendorong kinerja positif rerata produk reksa dana pendapatan tetap.

Cholis Baidowi, Chief Investment Offi cer Syailendra Capital, menuturkan pasar obligasi bergerak positif pada awal tahun akibat nilai tukar rupiah yang relatif stabil. Selain itu, pengaturan supply-demand Surat Berharga Negara oleh pemerintah melalui Peraturan OJK No.1/2016 yang masih berlanjut pada tahun ini ikut menjaga level imbal hasil obligasi pemerintah.

Berdasarkan data Asian Bonds Online, yield SUN 10 tahun mencapai 7,62% pada 30 Januari 2017 atau turun 35,2 bps sepanjang tahun ini. Adapun sepanjang tahun lalu, spread Surat Utang Negara tenor 10 tahun terhadap US Treasury telah menyempit 150 basis poin.

“Volatilitas pasar akan lebih tinggi pada semester I/2017 menyusul ketidakpastian internaldan eksternal. Portofolio obligasi sebaiknya lebih defensif dengan durasi 0,5 tahun di bawah benchmark,” kata Cholis, Selasa (31/1).

Cholis menambahkan penurunan yield membuat tingkat harga obligasi di pasar meningkat sehingga kinerja reksa dana pendapatan tetap relatif lebih baik dibandingkan dengan jenis reksa dana saham maupun reksa dana campuran.

Menurutnya, investor masih dikhawatirkan oleh ketidakpastian global dan pilkada sehingga reksa dana dengan profi l risiko rendah hingga moderat menjadi pilihan investor.
“Semester II/2017 lebih agresif. Entry poin yang baik apabila yield SUN 10 tahun ada di level 7,9%- 8%,” ujarnya.

PASAR SAHAM

Di pasar saham, Cholis menilai fenomena January Effect tidak berdampak besar terhadap kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG). Sepanjang Januari 2017, IHSG terkoreksi tipis 0,05% ke level 5.294,1 pada akhir perdagangan Selasa (31/1).

Kendati begitu, Cholis optimistis pada paruh kedua tahun ini, pasar saham akan bergairah sehingga kinerja reksa dana saham berpotensi untuk meningkat. Apalagi pertumbuhan laba bersih emiten pada tahun ini diproyeksi mencapai 16% dengan target moderat IHSG naik ke level 5.800 dan target optimistis ke level 6.100 pada akhir tahun ini.

Syailendra Capital menyematkan peringkat overweight untuk emiten sektor perbankan dengan estimasi pertumbuhan laba sebesar 18,4%, sektor telekomunikasi 23,7%, sektor sawit 28,7%, sektor batu bara 32,5%, dan sektor konstruksi 39,5%.

Pada kesempatan terpisah, analis Pasardana Beben Feri Wibowo menuturkan reksa dana pendapatan tetap berpotensi membukukan rerata return sebesar 4%-6%.

Sentimen positif, kata Beben, berasal dari laju ekonomi yang tumbuh sekitar 5%, Peraturan OJK tentang kepemilikan SBN oleh Industri Keuangan Non-Bank, serta stabilitas nilai tukar dan laju infl asi.

“Sentimen negatif dari kebijakan Trump dan kenaikan suku bunga The Fed. Harapannya BI mempertahankan suku bunga acuan untuk tetap menambah gairah di pasar pendapatan tetap,” pungkasnya.

Sementara itu, Pasardana mengestimasi skenario moderat dan optimistis untuk kinerja reksa dana berbasis saham. Kinerja reksa dana saham dan reksa dana campuran, lanjutnya, mengacu pada return IHSG yang diperkirakan naik 9,88% pada skenario optimistis, tetapi hanya naik 3,08% dalam skenario moderat.

Berdasarkan acuan tersebut, kinerja reksa dana saham dan campuran pada skenario optimistis diperkirakan masing-masing 10,32% dan 8,34%.

Pada skenario moderat, rerata reksa dana saham diproyeksi membukukan return 2,93% dan reksa dana campuran 3,6%.

Sumber : Bisnis Indonesia
http://koran.bisnis.com/read/20170202/441/625053/januari-2017-pendapatan-tetap-masih-unggul

👍
JAKARTA bisnis.com— Indeks harga saham gabungan yang rawan terkoreksi sepanjang September 2016 berisiko menekan kinerja reksa dana saham. Investor yang ingin menghindari risiko fluktuasi IHSG disarankan untuk mengalihkan investasi ke produk reksa dana pendapatan tetap.
‎Head of Research PT Infovesta Utama Edbert Suryajaya menuturkan reksa dana saham memang memiliki potensi return yang paling tinggi. Namun, fluktuasi pasar harus menjadi perhatian.
Berdasarkan data Bloomberg, sepanjang September 2016 IHSG terkoreksi 170,49 poin atau -3,16% dari level 5.386,06 pada penutupan perdagangan Rabu (31/8), ke level 5.215,57 pada penutupan perdagangan kemarin.
"Saat ini sebenarnya kami berpeluang untuk melakukan market timing di reksa dana, maupunaverage down. Hanya saja, manajemen untuk memasukkan dana harus lebih baik," ujarnya ketika dihubungi Bisnis, Selasa (13/9).
Menurut Edbert, penurunan pasar sangat dipengaruhi oleh sentimen global dan domestik. Salah satu yang paling ditunggu adalah keputusan penaikan Fed Fund Rate. Agar tidak terpapar volatilitas pasar, investor disarankan untuk wait and see dulu.
"Disarankan hanya investor profesional saja yang tetap stay di reksa dana saham dalam kondisi seperti ini. Untuk investor yang lebih awam, kalau dari kami melihat ada reksa dana pendapatan tetap yang bisa jadi alternatif," imbuhnya.
Lebih lanjut, produk reksa dana pendapatan tetap dinilai layak menjadi alternatif seiring dengan kecenderungan penurunan suku bunga yang menjadi katalis kenaikan harga obligasi.
Kendati demikian, return yang dibukukan reksa dana pendapatan tetap tidak akan setinggi reksa dana saham. Hingga akhir tahun, reksa dana berbasis obligasi ini masih berpotensi untuk mengantongi tambahan return sekitar 3%.
Mengacu pada Infovesta Fixed Income Fund Index, rerata produk reksa dana pendapatan tetap membukukan return 10,21% sepanjang tahun berjalan. Pada periode yang sama, Infovesta Equity Fund Index mencapai kinerja 15.30%.
Sepanjang Januari-Agustus 2016, lima produk reksa dana pendapatan tetap dengan returntertinggi, yakni Mega Dana Pendapatan Tetap 22,22%, Mega Dana Ori Dua 21,37%, Bahana Prime Income Fund 20,01%, Manulife Dana Tetap Utama  19,04%, dan Pendapatan Tetap Abadi 2 sebesar 18,76%.
"Biasanya return-nya lebih tinggi dari reksa dana pasar uang. Tetapi fixed income ada komponen surat utang yang juga bisa bergerak fluktuatif sehingga dalam kondisi market bearish, akan lebih rendah bila dibanding pasar uang," pungkas Edbert.

RAWAN KOREKSI
Direktur Investasi Sucorinvest Asset Management Jemmy Paul Wawointana mengatakan untuk menjaga kinerja reksa dana saham di tengah kondisi pasar yang rawan koreksi, Manajer Investasi menghindari saham yang membukukan beta tinggi.
"Biasanya saham yang betanya cukup tinggi, seperti banks, property, dan basic industrydihindari. Switching ke consumer," tuturnya.
Saat ini, total dana kelolaan reksa dana saham Sucorinvest sekitar Rp350 miliar. Jumlah tersebut merupakan akumulasi dari lima produk reksa dana saham Sucorinvest, antara lain Sucorinvest Equity Fund dan Sucorinvest Sharia Equity Fund yang masing-masing membukukan return 36,2% dan 35,24% sepanjang tahun berjalan.
"Saat ini subscription dan redemtion reksa dana saham seimbang. Dampak tax amnesty belum kelihatan," imbuh Jemmy.
Lucky Bayu Purnomo, analis Danareksa Sekuritas, menuturkan potensi kinerja harian IHSG cenderung melemah untuk menguji kisaran 5.200 dan kisaran garis support 5.179, serta garisresistance tertinggi pada level 5.409.


Jakarta - Investasi reksa dana pendapatan tetap (fixed income) terutama bagi investor institusi masih menarik di tengah tren penurunan bunga deposito. Karena itu, PT RHB Asset Management Indonesia meluncurkan produk reksa dana RHB Fixed Income Fund 2.
“Reksa dana pendapatan tetap sejauh ini masih memberikan tingkat pengembalian menarik melalui pengelolaan efek bersifat utang yang telah mendapat peringkat dari perusahaan pemeringkat efek yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK)," kata Presiden Direktur RHB Asset Management Indonesia Rima Suhaimi di Jakarta, baru-baru ini.
Rima menjelaskan, reksa dana RHB Fixed Income Fund 2 merupakan reksa dana pendapatan tetap dengan komposisi portofolio investasi minimum 80% dari Nilai Aktiva Bersih (NAB) pada efek bersifat utang, yang diterbitkan pemerintah RI dan/atau BUMN dengan kategori layak investasi.
Reksa dana ini juga sangat tepat diperuntukan bagi investor institusi bukan bank seperti dana pensiun, yang diwajibkan untuk berinvestasi pada surat berharga negara dan obligasi BUMN sesuai amanat peraturan OJK No 1 Tahun 2016.
Rima juga mengatakan bahwa reksa dana RHB Fixed Income Fund 2 juga merupakan pilihan ideal bagi investor perorangan, yang ingin menikmati manfaat pertumbuhan pasar obligasi negara dengan nominal investasi yang sangat terjangkau minimal hanya Rp 100.000. Adapun total reksa dana yang ditawarkan sebanyak 1 miliar unit dengan harga Rp 1.006,71 per unit.
Reksa dana Fixed Income Fund 2 saat diluncurkan pada 20 Juli 2016 lalu telah menghimpun dana kelolaan sebesar Rp 118 miliar. Per 31 Juli 2016 telah berhasil menghimpun dana masyarakat sebesar Rp 138 miliar. Targetnya hingga akhir tahun ini bisa mencapai Rp 300 miliar.
Lebih lanjut dia mengatakan, untuk memenuhi target penjualan, pihaknya menempuh strategi penjualan reksa dana melalui tenaga pemasaran internal, kerja sama dengan agen penjual reksa dana (APERD), serta melalui layanan online.
"Fixed Income Fund 2 merupakan reksa dana dengan investasi jangka panjang dengan hasil investasi dan keuntungan yang potensial. Ini diharapkan dapat membantu meningkatkan stabilitas industri reksa dana dan memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia," ujar Rima.
Sementara itu, Managing Director RHB Group Dato Khairussaleh mengatakan, pertumbuhan ekonomi kawasan yang cepat, dinamis, menantang, dan volatile menuntut investasi yang unggul secara fundamental. "Investor membutuhkan investasi yang terencana dan terdefinisi dengan baik. Hal ini yang ditangkap RHB Asset Management dengan meluncurkan produk reksa dana dengan imbal hasil yang menguntungkan dan aman, karena diperingkat oleh lembaga peringkat yang disertifikasi OJK," ujar Khairussaleh.
Head of Investment RHB Asset Management Liew Kong Qian menambahkan, Fixed Income Fund 2 merupakan alternatif investasi yang menarik dan memberikan manfaat yang lebih pasti di tengah kondisi keuangan yang volatile.
Jauhari Mahardhika/MHD
Investor Daily


JAKARTA kontan. Guna mendongkrak imbal hasil (return), umumnya manajer investasi mengalokasikan dana produk reksadana pendapatan tetap pada Surat Utang Negara (SUN) bertenor panjang.
Begitu pula strategi PT BNP Paribas Investment Partners alias BNPP IP dalam mengelola reksadana pendapatan tetap BNP Paribas Prima II.
Maya Kamdani, Head of Marketing BNPP IP berujar, mayoritas aset BNP Paribas Prima II memang diparkir pada obligasi pemerintah bertenor panjang. Sebab, SUN bertenor lebih dari 10 tahun memiliki likuiditas tinggi sehingga lebih reaktif. Artinya, instrumen tersebut berpotensi mendulang kenaikan harga (capital gain) lebih besar kala pasar obligasi bullish.
“Obligasi pemerintah juga lebih aman. Risiko gagal bayar sangat kecil atau hampir tidak ada,” terangnya.
Sejak awal tahun, pasar obligasi dalam negeri memang disokong katalis positif. Di antaranya pemangkasan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) ke level 6,75%, stabilitas rupiah, hingga terjaganya inflasi domestik di level rendah.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, Indonesia mengalami inflasi sebesar 0,16% periode Januari 2016 – April 2016.
Mengutip fund fact sheet per Maret 2016, efek surat utang mendominasi racikan BNP Paribas Prima II hingga 77,23%. Sisanya, 22,77% aset berupa instrumen pasar uang semisal deposito perbankan.
Perusahaan memang leluasa menempatkan 0% - 90% dana pada instrumen pasar uang serta 0% - 100% pada obligasi.
“Reksadana ini memang sesuai bagi investor yang berprofil risiko moderat dengan horizon investasi menengah hingga panjang,” ujarnya.
Adapun per April 2016, BNP Paribas Prima II telah mencetak return 8,91% (ytd). Angka tersebut mengungguli rata-rata return reksadana pendapatan tetap, tercermin pada Infovesta Fixed Income Fund Index yang tercatat 6,49% periode sama.
Dengan strategi yang kini diterapkan, Maya berharap hingga akhir tahun 2016, return BNP Paribas Prima II dapat tetap mengungguli rata-rata return reksadana pendapatan tetap.
Pasar obligasi domestik berpeluang melanjutkan tren bullish apabila inflasi Tanah Air tetap terjaga. BI juga bakal menerapkan kebijakan BI seven days reverse repo 
rate mulai Agustus 2016 mendatang.
“Kami masih memantau situasi apakah bakal memperbesar porsi obligasi. Soalnya masih ada risiko volatilitas di pasar,” jelasnya.
Maklum, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) alias the Fed berencana menaikkan suku bunga yang saat ini di level 0,25% - 0,5%.
Per 10 Mei 2016, reksadana pendapatan tetap ini telah diperdagangkan dengan nilai aktiva bersih per unit penyertaan (NAB/UP) senilai Rp 2.001,76. Adapun per Maret 2016, BNP Paribas Prima II telah meraih dana kelolaan Rp 851,57 miliar. Produk yang meluncur sejak 25 September 2007 tersebut menggunakan bank kustodian Citibank, N.A. cabang DKI Jakarta.
Nah, investor yang ingin mengoleksi reksadana ini dapat melakukan pembelian minimal Rp 500 ribu yang dikenakan biaya maksimal 2% per transaksi.
Perusahaan juga mengutip biaya pengalihan maksimal 1% per transaksi serta biaya jasa pengelolaan maksimal 2% per tahun. Ada pula biaya jasa kustodian sebesar 0,2% - 0,25% per tahun.
Analis Infovesta Utama Beben Feri Wibowo menduga, sepanjang tahun 2016, Infovesta Fixed income Fund Index akan berkisar 7% - 7,7%.

per tgl 19 April 2016







Jakarta - Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro menegaskan, apabila masyarakat menginginkan return ( imbal hasil) yang tinggi dari sebuah investasi, jangan mengandalkan kepada pendapatan bunga bank. Sementara itu, pemerintah akan menetapkan batasan tingkat bunga deposito dana BUMN tidak terlalu tinggi di atas laju inflasi.

"Kalau mau return tinggi jangan di bank, tapi investasi di sektor keuangan atau riil. Jangan harapkan bunga bank," ujar Menkeu dalam sambutannya di Property and Mortgage Summit 2016 di Jakarta, Kamis (18/2).

Sebaliknya, Bambang mengimbau kepada masyarakat agar berinvestasi di instrumen yang lebih menjanjikan, misalnya pasar modal. Dia mengingatkan, selama ini ada mentalitas yang salah di kalangan masyarakat, tak terkecuali di pemerintahan hingga korporasi. Sebagian besar dana ditempatkan di perbankan dengan harapan memperoleh tingkat bunga yang tinggi. Padahal, perbankan pun memiliki keterbatasan dalam memberikan tingkat bunga.

"Tingkat bunga bank tidak menjanjikan return yang menggiurkan. Supply dana pihak ketiga terbatas, padahal demand tinggi," ujarnya.

Menkeu mengajak masyarakat mengubah mentalitas semacam itu. Dengan demikian, financial deepening di Indonesia dapat terbangun. Karena selama ini masyarakat mengandalkan perbankan dalam hal kegiatan keuangan dengan risiko yang relatif rendah. Akibatnya, instrumen keuangan lain yang sebenarnya dapat menjanjikan imbal hasil lebih tinggi belum dilirik.

Ketika masyarakat masih mengandalkan bank, menurut dia, jumlah investor tidak akan bertambah. Masyarakat selamanya akan menjadi deposan yang tidak naik kelas menjadi investor. "Tingkat bunga bank tidak menjanjikan return menggiurkan, mereka mulai berpikir ke reksa dana, pasar modal, atau obligasi, dengan begitu financial deepening dapat berjalan," ujarnya.

Menurut ambang, selama ini financial deepening masih relatif dangkal. "Jangan harapkan bunga bank karena tidak akan membuat kita jadi investor, jadi deposan saja," ujarnya.

Secara terpisah, Menko Darmin Nasution mengatakan, pemerintah akan menetapkan tingkat bunga deposito dana BUMN tidak terlalu tinggi di atas laju inflasi. "Masa deposito maunya jauh di atas inflasi. Di atas inflasi udah oke, tapi tidak terlalu tinggi, ya kan. Jadi tidak rendah, juga tidak tinggi," ujarnya di Jakarta, kemarin.

Meski demikian, Darmin masih enggan mengungkapkan secara rinci besaran di atas inflasi yang menjadi acuan bunga deposito dana BUMN itu. "Tidak bisa dibilang dulu, tapi sudah ada (besarannya)," ujarnya.

Menurut dia, peserta rapat yang membahas suku bunga di Kantor Wapres kemarin, menyetujui usulan penurunan suku bunga tersebut, termasuk Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian BUMN.

Untuk membahas langkah-langkah lanjutan dalam upaya mendorong penurunan suku bunga perbankan, Darmin akan membentuk tim di kantornya, yang juga beranggotakan pihak dari BI dan OJK.

Selama ini, menurut dia, BUMN yang menaruh deposito dalam jumlah besar di perbankan, kerap meminta suku bunga simpanan yang tinggi, dengan kisaran dua digit. Tingginya deposito itu juga memberikan nilai tawar kepada BUMN agar mampu menekan perbankan untuk memberikan bunga simpanan yang tinggi.

Likuiditas Bank Ketat

Alhasil, perbankan yang memang berlomba mencari dana pihak ketiga (DPK), memasang suku bunga deposito yang tinggi. Hal itu dilakukan perbankan agar mereka tidak kehilangan deposannya. Jika perbankan kehilangan deposan maka likuiditas perbankan akan mengetat.

Namun, tingginya bunga deposito itu memicu biaya dana (cost of fund) perbankan membengkak. Dengan kenaikan biaya dana, perbankan akhirnya memasang suku bunga pinjaman yang tinggi, yang akhirnya menyulitkan nasabah untuk meminjam uang dari bank.

Pemerintah, kata Darmin, melihat hal itu sebagai inefisiensi. Pendapatan bunga BUMN memang meningkat, namun dampak negatifnya melanda masyarakat yang kesulitan untuk mencari sumber pendanaan. "Jadi jika dihitung-hitung, malah rugi. Masyarakat harus bayar mahal, jadi tidak efisien," ujarnya.

Karena itu, pemerintah menargetkan suku bunga pinjaman dapat ditekan hingga satu digit pada 2016 dari saat ini yang masih berada di dua digit. Menurut dia, OJK juga akan mengeluarkan kebijakan untuk membantu meringankan biaya dana di industri perbankan. "Yang penting agar industri perbankan menjadi efisien," ujarnya.

Kementeri Koordinator bidang Perekonomian bersama-sama dengan Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kini mempersiapkan peraturan untuk mempercepat penurunan suku bunga.

"Kami segera akan membentuk tim bersama sehingga dalam waktu lama lagi akan kami selesaikan (permasalahan tingginya suku bunga)," ujarnya setelah rapat terbatas perekonomian di Kantor Wakil Presiden, kemarin.

Pemerintah, menurut dia, bersama-sama dengan OJK dan BI akan mengambil langkah-langkah di internal pemerintah termasuk pihak BUMN. Sedangkan pihak BI dinyatakan akan mengambil langkah-langkah agar tingkat BI Rate yang juga kerap disebut sebagai policy rate (suku bunga kebijakan) bisa secara bertahap turun.

Sedangkan OJK sendiri diharapkan semakin mengendalikan agar cost of fund di perbankan secara umum juga agar turun, dan bagaimana agar overhead cost-nya semakin efisien sehingga tingkat suku bunganya turun. "Intinya bagaimana kebijakan tingkat suku bunga turun dengan cepat," ujarnya.

Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) kemarin, BI memutuskan untuk kembali menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 7%. Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan penurunan ini dilakukan karena memang ada ruang untuk dilakukannya pelonggaran. "Keputusan in juga diharapkan bisa menopang target pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," ujar Gubernur BI Agus Martowardoyo.

Menurut Agus, salah satu alasan penurunan dilakukan setelah melihat kemungkinan Fed Fund Rate tidak akan dinaikkan dalam waktu dekat. Paling cepat kenaikan FFR akan dilakukan pada semester kedua tahun ini dengan tingkat kenaikan lebih rendah.

Sebelumnya pada Januari 2016 BI juga sudah menurunkan BI Rate menjadi 7,25%, dan sekarang diturunkan lagi 25 bps menjadi 7% pada Februari 2016.

Di sisi lain, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad mengatakan, penurunan tingkat suku bunga tidak akan merugikan bank tetapi malah akan memperkuat karena bakal memperluas basis kreditur. "Penurunan suku bunga kredit akan mampu memperluas basis penerima kredit," ujarnya.

Dengan kata lain, menurut dia, penurunan bunga juga akan membukakan akses yang lebih luas bagi mereka yang ingin mengambil kredit sehingga jumlah nasabah dari bank itu juga bakal bertambah.

Muliaman mengatakan, pihaknya juga akan memberikan insentif bagi bank yang bisa meningkatkan efisiensinya. bari/munib/fba

http://www.neraca.co.id/article/65775/jangan-cari-return-tinggi-via-bank-bi-rate-turun-lagi-menjadi-7




Sumber : NERACA.CO.ID


JAKARTA ID – Rerata tingkat pengembalian investasi (return) reksa dana pendapatan tetap (fixed income) sepanjang Januari tahun ini tercatat sebesar 1,9%. Return reksa dana fixed income tetap unggul dibandingkan reksa dana saham yang minus 0,15% dan campuran yang sebesar 0,48%.

Berdasarkan data Infovesta Utama, rata-rata return reksa dana fixed income terepresentasi dari Infovesta fixed income fund index. Pertumbuhan return reksa dana fixed income tetap lebih tinggi dibandingkan Infovesta government bond index yang sebesar 1,43% dan Infovesta corporate bond index sebesar 0,65%.

“Pertumbuhan reksa dana fixed income ditopang oleh kinerja surat utang negara (SUN) dan obligasi korporasi. Masingmasing tumbuh positif 1,43% dan 0,65%,” kata analis Infovesta Utama Beben Feri Wibowo kepadaInvestor Daily di Jakarta, Senin (1/2).

Lebih lanjut dia mengatakan, penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) dan suku bunga acuan (BI rate) menjadi sentimen positif terhadap pasar SUN. Sementara itu, return reksa dana saham lebih rendah dibandingkan kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG) sebesar 0,48%. Beben mengakui bahwa minusnya return reksa dana saham, karena pasar saham masih tertekan.

Pelemahan pasar saham tidak terlepas dari penurunan harga minyak mentah dunia. Harga minyak sempat menyentuh level US$ 30 per barel pada Januari tahun ini. “Serta terpengaruh tekanan kondisi ekonomi Tiongkok,” ujar dia.

Beben mengungkapkan bahwa ada potensi return reksa dana saham bulan ini bakal positif. Hal itu dapat terjadi dengan harapan pemerintah memberikan kebijakan lanjutan yang dapat menggairahkan pasar saham. Kebijakan yang dapat menggairahkan pasar saham di antaranya penurunan lanjutan BI rate dan jika bisa penurunan lanjutan harga BBM.

Infovesta Utama memproyeksikan industri reksa dana bertumbuh tahun ini. Pertumbuhan industri reksa dana bakal terjadi dari sisi dana kelolaan (asset under management/AUM) maupun dari sisi unit penyertaan. Pertumbuhan industri reksa dana akan ditopang oleh membaiknya sentimen-sentimen dari dalam maupun luar negeri. Hal tersebut seiring dengan berbagai upaya pemerintah maupun bank sentral sejumlah negara besar untuk menggenjot pemulihan ekonomi.

“Pilihan reksa dana yang terbaik harus disesuaikan dengan profil risiko masing-masing serta kebutuhan likuiditasnya,” ungkap analis Infovesta Utama Praska Putrayanto.

Membaiknya sentimen-sentimen domestik dan global juga akan mendongkrak kinerja IHSG tahun ini. Dia memprediksi IHSG tahun ini tumbuh 10,9-14,2%.

Sementara itu, tahun ini, SUN juga diproyeksi bakal bergairah. Praska memprediksi pasar SUN yang tercermin padagovernment bond index tumbuh 7,2-8%. Industri reksa dana bakal tumbuh mengikuti pasar saham dan SUN.

Dia memprediksi return reksa dana saham melalui Infovesta equity index akan tumbuh sebesar 11,3-14,8%. Sedangkanreturn reksa dana campuran melalui Infovesta balanced funds index diproyeksikan tumbuh 9,4-11,6%.

“Industri reksa dana pendapatan tetap melalui Infovesta fixed income funds index diperkirakan tumbuh 7-7,7%,” ungkap dia.

Tumbuh 15%
Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia (APRDI) memproyeksikan total dana kelolaan (asset under management/AUM) industri reksa dana tahun ini tumbuh sebesar 15%. Pertumbuhan AUM tersebut lebih tinggi dibandingkan realisasi tahun lalu yang sebesar 13% atau mencapai sekitar Rp 270 triliun.

Ketua Umum APRDI Denny Thaher mengatakan, tahun lalu terdapat dua faktor penting yang mempengaruhi industri reksa dana. Pertama, akibat penurunan pasar saham yang tercermin pada indeks harga saham gabungan (IHSG), banyak investor yang membeli kembali saat IHSG turun.

“Kedua adalah banyak yang mengalihkan reksa dana ke produk terproteksi dan pasar uang untuk menghindari volatilitas,” tutur Denny.

Kedua hal tersebut yang mendorong per tumbuhan AUM industri tahun lalu. Sementara itu, anggota Kompartemen Sosialisasi dan Edukasi APRDI Rudiyanto mengatakan, target pertumbuhan AUM tahun ini sebesar 15% sudah dapat tercapai dengan pertumbuhan harga saham dan obligasi. Karena itu, potensi pertumbuhan AUM tahun ini bisa lebih tinggi.

Meski demikian, Rudiyanto menilai bahwa tekanan terhadap pertumbuhan AUM dapat terjadi apabila banyak investor yang melakukan redemption. Dia optimistis pasar surat utang dan saham dapat tumbuh tahun ini, tetapi hal yang menantang adalah meningkatkan jumlah investor untuk mendongkrak pertumbuhan AUM.

Pilihan Investasi
Sementara itu, Denny mengatakan, selama ini masyarakat Indonesia masih banyak yang menabung unuk mencapai tujuan finansial. Padahal, reksa dana juga merupakan vehicle untuk mencapai tujuan tersebut.

Menurut dia, reksa dana bukan produk untuk orang kaya yang menginginkan uangnya terus bertambah. Dia menjelaskan bahwa reksa dana erupakan produk untuk orang yang belum kaya untuk mencukupi kebutuhannya. “Saya kira itu yang jadi problem,” tuturnya.

Dia ingin membangkitkan kesadaran investasi masyarakat dengan melihat kebutuhan mereka. Denny mencontohkan bahwa masyarakat perlu berinvestasi untuk memenuhi kebutuhan dana untuk pensiun atau menyekolahkan anaknya.

Karena itu, APRDI terus meningkatkan intensitas program edukasi dan sosialisasi produk reksa dana kepada masyarakat untuk meningkatkan jumlah investor reksa dana. Berdasarkan road map APRDI, pada 2017 diharapkan ada lima juta investor reksa dana.

Denny mengatakan, tahun ini asosiasi tidak memiliki target spesifik terkait jumlah investor. Namun, APRDI masih memilikitarget 5 juta investor pada 2017. “Tapi untuk sampai ke sana kita harus kerja lebih keras lagi, karena sampai saat ini jumlah investor reksa dana baru mencapai 260 ribu orang,” tutur Denny.

Jumlah investor reksa dana tersebut berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dia melanjutkan, APRDI masih terus menggenjot program sosialisasi dan edukasi reksa dana kepada masyarakat.

Denny mengungkapkan bahwa bakal ada program APRDI yang cukup besar. Dia berharap program tersebut akan menjaring banyak investor baru. “Progam itu akan di-launching pada kuartal II – 2016,” tuturnya.

Terlepas dari itu, Denny menilai bahwa hal penting dalam edukasi adalah memberitahu masyarakat bahwa berinvestasi tidak perlu menunggu kondisi pasar baik. Investasi harus dilakukan setiap saat.


Dia menganalogikan, apabila kondisi pasar sedang jelek tidak berarti investor berhenti menyiapkan dana pensiunnya. Oleh sebab itu, investasi harus dilakukan untuk jangka panjang, secara reguler dan disiplin.

per 22 Jan 2016, ternyata tren NAEK SDMP2 berawal sejak OKT 2015 bo : 
manulife obligasi negara indonesia 2 juga neh, lalu yang RD Campuran (saham, obligasi, tunai): 





aset dasar sebuah reksa dana pendapatan tetap : OBLIGASI aka SURAT UTANG yang dikeluarkan oleh Pemerintah atwa juga oleh BI :


Bisnis.com, JAKARTA- Kinerja return reksa dana tahun ini berjalan tidak mulus dan sulit mencapai target. Hanya reksa pasar uang dan pendapatan tetap yang sejauh ini sudah mencapai targetnya.
Berdasarkan data Infovesta Utama (per 18 Desember 2015), sejumlah kinerja return reksa dana periode setahun tercatat sangat rendah. Untuk reksa dana saham, return periode setahun tercatat -15,41%. Kemudian, untuk reksa dana campuran tercatat -7,17%.
Adapun, untuk kinerja return reksa dana pendapatan tetap dan reksa dana pasar uang tercatat positif dengan return masing-masing 3,79% dan 6,51%.
Bila mengacu target return Infovesta yang telah direvisi pada September lalu, terlihat hanya reksa dana pendapatan tetap dan reksa dana pasar uang yang kinerjanya masih sesuai dengan target Infovesta.
Sebagai informasi, Infovesta memang telah merevisi target return reksa dana tahun ini menjadi lebih rendah seiring bergejolaknya pasar saham. Bukan hanya reksa dana saham yang dikoreksi, tetapi target kinerja reksa dana pendapatan tetap dan campuran juga turut dikoreksi.
Infovesta merevisi return reksa dana saham hingga akhir tahun menjadi -9% sampai 6%, reksa dana campuran menjadi -5% sampai -2%, reksa dana pendapatan tetap menjadi 2%-4% dan reksa dana pasar uang tetap di posisi 6%-7%.
Sementara pada awal tahun, Infovesta menargetkan return reksa dana saham sekitar 11%-14%, reksa dana campuran 9%-11%, reksa dana pendapatan tetap 7%-8%, dan reksa dana pasar uang 6%-7%.
Hans Kwee, Direktur Investasi Saran Mandiri mengatakan kinerja return reksa dana saham dan campuran akan sulit capai target karena pasar saham tahun ini sangat berfluktuaktif. Sedangkan, untuk reksa dana pasar uang masih positif karena didorong oleh tingginya suku bunga di dalam negeri.
"Suku bunga masih relatif tinggi ya, reksa dana pasar uang tidak terpengaruh oleh kinerja perekonomian dan pasar saham," kata Hans saat dihubungi BisnIis, Minggu (20/12).
Sementara, untuk kinerja return reksa dana pendapatan tetap, Hans menilai hal tersebut ditopang oleh kinerja pasar surat utang negara (SUN) yang masih stabil. Menurutnya, meski sama-sama bergejolak akibat kondisi perekonomian dalam negeri dan global, kinerja SUN lebih stabil.
"Tidak seperti yang terjadi di saham, langsung terpengaruh," katanya.

Bisnis.com, JAKARTA-- Kepemilikan surat berharga negara oleh reksa dana sepanjang tahun ini sudah bertambah Rp13,7 triliun atau tertinggi sepanjang lima tahun terakhir. 
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, kepemilikan reksa dana pada surat berharga negara (SBN) sudah mencapai Rp59,58 triliun atau bertambah Rp13,7 triliun dibandingkan dengan perolehan 2014 yang sekitar Rp45,79 triliun. 
Bila dibandingkan dengan data sejak 2010, penambahan kepemilikan di SBN oleh reksa dana tahun ini merupakan yang tertinggi. Pada 2014, kepemilikan hanya bertambah Rp3,29 triliun dibandingkan dengan prolehan 2013. Kemudian, kepemilikan pada 2013 justru mengalami penurunan sekitar Rp690 miliar. 
Begitu juga dengan 2012 dan 2011 yang mengalami penurunan. Pada 2012, kepemilikan SBN oleh reksa dana tercatat Rp43,19 triliun atau turun Rp4,03 triliun dari perolehan 2011 yang Rp47,22 triliun. Sementara pada 2011, terjadi penurunan kepemilikan sekitar Rp3,94 triliun dari Rp51,16 triliun pada 2010 menjadi Rp47,22 triliun pada 2011. 
Head of Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Ezra Nazula mengatakan meski volatilitas di pasar obligasi sepanjang tahun ini cukup tinggi, permintaan obligasi pemerintah oleh reksa dana masih cukup tinggi. 
“Tetap akan ada inflow, karena yield tinggi cukup menarik tahun ini sehingga banyak investor yang masuk ke SUN,” kata Ezra usai acara Market Outlook 2016 di Jakarta, Selasa (15/12).
Menurutnya, permintaan SUN oleh reksa dana akan tetap seiring dengan pemerintah yang aktif menerbitkan obligasi, termasuk melalui lelang. Bahkan, kata Ezra, di tengah volatilitas yang tinggi, kepemilikan investor asing di SUN juga tidak berkurang. “Per November kepemilikan SUN oleh asing itu 38,15%, sedangkan akhir tahun lalu sekitar 38,13%,” ujarnya.
Dia menilai, tahun depan pasar obligasi pemerintah masih akan menarik minat investor, khususnya untuk obligasi dengan seri panjang. Ada sejumlah sentimen positif yang membuat pasar obligasi tetap menjadi incaran investor, termasuk reksa dana. Sejumlah sentimen positif tersebut adalah inflasi yang terkendali akan membuka peluang untuk diturunkannya BI rate. 
“Sebagian besar dari  domestik. Tahun depan ada ruang BI untuk menurunkan suku bunga acuan. Kemudian, suplai bond yang lebih banyak di awal tahun, serta sejumlah paket kebijakan pemerintah yang akan mendorong perbaikan perekonomian,” jelasnya. 
Meski demikian, pasar obligasi tahun depan bukan tak ada tantangan. Masih ada sejumlah sentimen negatif yang membayangi, seperti berlanjutnya pelemahan rupiah, kenaikan suku bunga teh Fed dan kebijakan Tiongkok yang berpengaruh pada negara emerging market
Handy Yunianto, Head of Fixed Income Research PT Mandiri Sekuritas mengatakan investor domestik memang menjadi pendorong untuk pasar obligasi tahun ini dan tahun depan. Menurutnya, untuk reksa dana, tahun lalu penambahannya hanya sekitar Rp3 triliun, tapi sepanjang tahun ini sudah melebihi Rp10 triliun. 
Support lokal ini juga akan jadi faktor positif tahun depan. Kepemilikan reksa dana masih akan tumbuh, seiring penurunan bunga deposito juga,” kata Handy.

JAKARTA kontan. Anjloknya harga surat utang negara (SUN) seri menengah dan panjang dimanfaatkan investor. Pasalnya, investor bisa masuk dengan harga murah.
Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat sejumlah seri SUN teraktif yang diperdagangkan dari sisi frekuensi pada Augustus antara lain FR0068, SR007, dan FR0071.
Dari sisi volume, seri teraktif seperti FR0070, FR0053 dan FR0071.
Fixed Income Analyst Samuel Sekuritas Indonesia Maximilianus Nico Demus mengatakan seri bertenor menengah dan panjang mengalami penurunan harga paling dalam sepanjang Agustus.
Pemicunya, adanya kebijakan Tiongkok dalam melakukan devaluasi mata uangnya dan berimbas terhadap tekanan rupiah.
"Seri menengah dan panjang tentu menjadi salah satu obligasi yang paling turun harganya ketika pasar obligasi mengalami gejolak," ujar Nico, Jakarta, Kamis (10/9).
Anjloknya harga mengakibatkan seri tersebut menjadi murah. Bahkan, seri FR0068 bertenor 20 tahun turun hingga mencapai batas bawah.
Di sisi lain, yield SUN kian terkerek dan menarik.
"Para pelaku pasar dan investor tentu segera masuk secara bertahap untuk mendapatkan harga di bawah dengan yield tinggi dan yield tertinggi itu bisa di dapatkan dari seri bertenor menengah hingga panjang," ujar Nico.
Selain itu, tenor menengah dan panjang juga dimanfaatkan investor untuk memaksimalkan keuntungan ketika pasar obligasi mengalami recovery.
Juga, tenor ini akan mengalami penurunan paling dalam ketika pasar bereaksi terhadap berita global ataupun domestik.
Ketika obligasi tersebut mengalami penurunan dalam, tentu imbal hasil akan semakin tinggi.
"Hal ini yang di lihat sebagai kesempatan oleh para pelaku pasar dan investor untuk bisa mendapatkan posisi," ujar dia.
Analis Sucorivest Central Gani Ariawan mengatakan minat investor terhadap tenor menengah dan panjang masih tinggi.
Sebab, seri tersebut menawarkan yield menarik.
"Tren ini terlihat sejak Juli ketika yield mengalami kenaikan," ujar Ariawan.
Tak hanya investor domestik, tenor ini juga diserbu oleh investor asing
Sebaliknya, Fixed Income Analyst BNI Securities I Made Adi Saputra mengatakan ramainya transaksi pada seri-seri tersebut disebabkan oleh aksi jual investor akibat pelemahan rupiah.
"Hal tersebut terlihat dari kenaikan yield tenor menengah dan panjang yang lebih besar dibandingkan tenor pendek," kata Made.
Disamping itu, volume perdagangan SUN didominasi oleh tenor menengah dan panjang lantaran volatilitasnya yang cukup tinggi.
Hal tersebut dimanfaatkan oleh investor untuk melakukan strategi trading.
Harga Sulit Naik
Nico memperkirakan harga obligasi tahun ini masih sulit untuk kembali di harga kisaran pada bulan February samingga April 2015 sebelumnya.
Kemunculan paket kebijakan Presiden yang diumumkan Rabu (9/9) kemarin juga diperkirakan tidak bisa memberikan efek jangka pendek untuk mengerek pasar obligasi.
"Terlihat pada perdagangan obligasi Kamis (10/9) ini yang di buka flat. Demikian juga dengan penutupan Rabu sore. kamis pada tengah hari hingga sore hari juga kembali melanjutkan penurunannya, di ikuti oleh penurunan Rupiah yang semakin melemah," ujar dia.
Pasar obligasi diperkirakan masih akan tertekan apabila tekanan Rupiah masih berlanjut.
"Namun, saat ini menjadi saat yang baik untuk bisa mulai kembali masuk secara bertahap, karena dalam hitungan, valuasi obligasi Pemerintah tentu bisa di katakan sangat murah," tutur Nico.
Made sepakat paket kebijakan baru akan berdampak terhadap pasar obligasi dalam jangka panjang.
"Sebab paket kebijakan yang disampaikan pemerintah eksekusinya tidak bisa cepat," ujar dia.
Sedangkan untuk jangka pendek, pasar Surat utang masih akan dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Editor: Adi Wikanto.


JAKARTA kontan. Industri reksadana non saham tetap tumbuh di tengah gejolak pasar modal. Infovesta Utama mencatat dana kelolaan reksadana pasar uang dan pendapatan tetap masing-masing bertambah Rp 1,28 triliun dan Rp 264 miliar sepanjang Agustus 2015.
Dana kelolaan reksadana pasar uang naik dari Rp 26,38 triliun pada Juli menjadi Rp 27,66 triliun pada Agustus. Demikian juga dengan reksadana pendapatan tetap yang naik dari Rp 40,566 triliun menjadi Rp 40,83 triliun pada periode yang sama.
Padahal, secara keseluruhan dana kelolaan industri reksadana turun dari Rp 249,38 triliun menjadi Rp 249,69 triliun.
Analis Infovesta Utama Viliawati mengatakan kenaikan dana kelolaan reksadana non saham ditopang oleh naiknya unit penyertaan. "Sebab, terjadi penambahan dana atau subscription pada reksadana tersebut," ujar Vilia.
Unit penyertaan reksadana pasar uang pada Juli tercatat sebesar 24,49 miliar unit. Nilai tersebut naik menjadi 24,87 miliar unit pada Agustus 2015. Sedangkan unit penyertaan pendapatan tetap naik dari 23,75 miliar unit menjadi 23,93 miliar unit.
Menurut Vilia, tren suku bunga deposito tinggi juga ikut mengerek nilai pasar portofolio reksadana pasar uang. Dus, mendorong kenaikan dana kelolaan produk ini.
"Hal ini dikarenakan adanya pendapatan berupa bunga deposito. Di sisi lain, nilai pokok deposito tidak mengalami perubahan nilai seperti layaknya saham," ujar dia.
Sekedar informasi, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mematok tingkat bunga penjaminan simpanan dalam rupiah di bank umum sebesar 7,75% per tahun. Sedangkan untuk bank perkreditan rakyat (BPR) sebesar 10,25%.
Direktur PT Bahana TCW Investment Management Soni Wibowo mengaku sejumlah investor melakukan switching atau memindahkan dananya dari reksadana saham ke pasar uang. Langkah tersebut dilakukan investor untuk meminimalisir kerugian di reksadana saham. "Namun, perpindahan tersebut hanya dalam jumlah kecil sehingga dana kelolaan reksadana pasar uang kami stabil," ujar Soni.
Sementara itu, untuk dana kelolaan reksadana pendapatan tetap tercatat naik Rp 250 miliar secara month on month (MoM) Agustus 2015. Menurut Soni, kenaikan dana kelolaan ditopang oleh penambahan dana investor ritel.
Dia optimistis bisa mengejar total target dana kelolaan hingga akhir tahun sebesar RP 29 triliun. Target tersebut akan dicapai salah satunya dengan peluncuran produk reksadana terproteksi.
Editor: Barratut Taqiyyah.

JAKARTA kontan. Optimisme terhadap pulihnya perekonomian Tanah Air memicu perpindahan kegemaran investor asing dari mengoleksi surat utang negara (SUN) tenor pendek dan menengah menjadi panjang.
Data SUN dwi mingguan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR) mencatat, per 1 September 2015, porsi investor asing dalam SUN domestik mencapai Rp 526,03 triliun atawa 37,78% dari total outstanding SUN yang dapat diperdagangkan sebesar Rp 1.392,45 triliun.
Dari total portofolio asing tersebut, sebanyak 46% investor asing menggenggam SUN bertenor lebih dari 10 tahun. Angka tersebut naik ketimbang posisi akhir tahun 2014 yang berkisar 43%.
Kenaikan juga terlihat pada SUN bertenor lima tahun hingga 10 tahun dari semula 34% menjadi 38%.
Sebaliknya, penurunan terjadi pada SUN berusia dua tahun hingga lima tahun dari posisi 15% menjadi 11%.
Hal yang sama juga terjadi di SUN berusia satu tahun hingga dua tahun yang menyusut dari 4% menjadi 3%. Begitu pula dengan SUN bertempo kurang dari satu tahun yang mengecil dari level 5% menjadi 3%.
Analis Sucorinvest Sentral Gani Ariawan menilai, sejak awal tahun 2015, ada sebagian investor asing yang bergeser dari SUN tenor pendek dan menengah menjadi SUN tenor panjang.
Menurut Ariawan, aksi tersebut mengindikasikan bahwa investor asing yakin perekonomian Indonesia masih cerah dalam beberapa waktu mendatang. S
ebab, SUN tenor panjang umumnya lebih berisiko.
Jika mereka berani menggenggam SUN tenor panjang, berarti mereka masih optimistis dapat memperoleh capital gain atas kenaikan harga obligasi di masa depan.
“SUN tenor panjang juga jadi incaran investor asing yang bertujuan untuk trading karena lebih fluktuatif dan sensitif,” jelasnya.
Memang banyak pihak yang memprediksi ekonomi Indonesia bakal pulih di paruh kedua tahun 2015.
Apalagi inflasi dalam negeri per Agustus 2015 tercatat 0,39%. Hal ini menguatkan peluang target inflasi Tanah Air tahun ini yang dipatok 4% (±1%) akan tercapai.
Selain itu, lanjut Ariawan, investor asing menyukai SUN tenor panjang karena lebih likuid di pasar sekunder.
Pemerintah memang sering melelang SUN seri acuan yang bertenor panjang.
Yield obligasi Indonesia juga tergolong tinggi ketimbang negara lainnya seperti Thailand dan Filipina,” tukasnya.
Mengacu Asian Bonds Online per Jumat (4/9), yield SUN tenor 10 tahun Indonesia berkisar 8,88%.
Angka tersebut lebih menarik ketimbang yield SUN bertenor sama negara-negara tetangga seperti Malaysia yang mencapai 4,39%, Thailand sebesar 2,85%, Vietnam sebanyak 7,15%, serta Filipina yang tercatat 4,47%.
Ariawan menerawang, hingga akhir tahun 2015, porsi investor asing yang menggenggam SUN lebih dari 10 tahun akan menggemuk di 47% - 48%.
Memang ada ancaman kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral Amerika Serikat yang dapat berimbas negatif ke pasar obligasi domestik.
“Tapi sentimennya justru positif karena rencana tersebut sudah ada kejelasan, ada titik terangnya,” katanya.
Di sisi lain, kenaikan serapan anggaran belanja pemerintah serta program pembangunan infrastruktur dalam negeri juga akan mendorong perekonomian Indonesia. Sehingga, investor asing akan gencar masuk ke SUN tenor panjang akibat optimisme tersebut.

Editor: Adi Wikanto.


Market Review

Pada Jumat lalu (28/8), obligasi yang diperdagangkan antara lain FR0068 (jatuh tempo 15/3/34; harga penutupan bursa 94; yield to maturity 9,05%), FR0070 (15/3/24; 97,7; 8,76%), Bank Bukopin Subordinasi I Tahap I (6/3/19; 93,45; 11,54%; idA) dan Jasa marga Berkelanjutan I Tahap I S C (27/9/18; 98,2; 9,58%; idA). Selanjutnya, harga surat berharga negara (SBN) menguat dengan rata–rata 0,2%, sedangkan harga obligasi korporasi melemah dengan rata–rata 0,18%. Volume jual–beli obligasi korporasi membesar dari Rp448,7 miliar pada Kamis (27/8) menjadi Rp603,01 miliar pada Jumat (28/8). Namun, frekuensi perdagangannya turun dari 108 kali menjadi 85 kali. Sementara itu, volume perdagangan SBN mengecil dari Rp14,21 triliun pada Kamis (27/8) menjadi Rp7,21 triliun pada Jumat (28/8). Namun, frekuensi perdagangannya terkikis dari 517 kali menjadi 353 kali.



Ringkasan Berita

Lima seri SUN dilelang Selasa depan

Pemerintah berencana untuk merilis lima seri SUN melalui lelang pada Selasa depan (1/9) dengan target indikatif Rp10 triliun. Dana yang didapat akan digunakan untuk memenuhi sebagian dari target pembiayaan dalam APBN 2015. Seri yang akan ditawarkan kali ini adalah SPN03151202 (new issuance), SPN12160902 (new issuance), FR0053 (reopening), FR0056 (reopening), dan FR0072 (reopening).



SSIA kaji penerbitan obligasi global SGD100 juta

PT Suya Semester Internusa Tbk (SSIA) tengah mengkaji penerbitan surat utang dalam denominasi Singapur dolar sebesar SGD100 juta pada bulan depan. Sebelumnya Perseroan telah gagal membatalkan penerbitan surat utang berdenominasi dolar As senilai USD200 juta. Perseroan menyatakan, obligasi tersebut merupakan alternatif pendanaan untuk membiayai rencana ekspansi Perseroan. Selain itu, Perseroan tengah menjajaki penerbitan obligasi bermata uang rupiah senilai Rp1 triliun sebagai cadangan, apabila pasar dolar Singapura tidak kondusif. Sesuai dengan rencana awal, dana hasil emisi maupun pinjaman akan digunakan untuk akuisisi lahan industri di Subang dan Karawang.

Sumber: Bisnis Indonesia, Kementerian Keuangan







Sumber : IPS RESEARCH
JAKARTA – Pemerintah tengah mengkaji skema penggunaan dana cadangan dalam rangka stabilisasi obligasi negara (bond stabilization fund) untuk menghindari tekanan di pasar, seperti peralihan modal asing secara tiba-tiba (sudden reversal). Dana cadangan atau sejenis dana abadi ini hanya digunakan ketika diperlukan.

“Logikanya harus modal dana abadi, tapi bukan abadilah. Maksudnya dia sudah ada di situ, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) paling menambahkan kalau perlu. Tapi, kita belum sampai ke sana. Ini baru bicara framework (menggunakan BSF),” ujar Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro usai rapat kerja di Komisi XI, Jakarta, Rabu (10/6).

Bond stabilization fund tersebut rencananya berada dalam sebuah rekening (akun) yang dapat dipergunakan setiap saat. Dana ini pun merupakan alternatif terakhir untuk mengatasi krisis, setelah pemerintah menggunakan skema-skema yang telah dibentuk sebelumnya.

Sebagai informasi, pemerintah telah mempunyai skema penanganan kondisi krisis, yaitu dengan Bond Stabilization Framework dan pinjaman siaga. Dana BSF pun sudah dianggarkan melalui APBN, anggaran badan usaha milik negara (BUMN), dan dana contigensi (dana cadangan). Bambang mengatakan, ada persamaan antara BSF dan bond stabilization fund yaitu akan digunakan dalam kondisi kalau terjadi yield obligasi negara tinggi dan terjadi penarikan dana asing secara besar-besaran. Namun, pendanaan BSF berasal dari APBN dalam jumlah yang terbatas, serta dana-dana BUMN, dana pensiun, dan asuransi.

Sedangkan untuk bond stabilization fund akan dikelola oleh Kementerian Keuangan, namun belum difinalisasi dan masih dikaji lebih lanjut. “Kalau yang dedicated fund itu dana yang disimpan dan digunakan kalau diperlukan. Ini masih belum final konsepnya, baru konsep umum,” jelas Bambang.

Sementara itu, pemerintah belum memberikan kepastian kapan bond stabilization fund diberlakuan. Hingga saat ini, pemerintah masih akan berfokus pada skema BSF. Bambang pun menyatakan, keberadaan bond stabilization fund nantinya hanya digunakan apabila BSF sudah terpakai penuh.

Bambang menegaskan, bond stabilization fund merupakan skema penting untuk menangani penarikan dana asing dalam jumlah besar yang bisa terjadi setiap saat. Di samping itu, saat ini pun kekhawatiran akan normalisasi suku bunga Amerika Serikat harus diwaspadai. Sekadar informasi, gagasan bond stabilization fund ini pernah digulirkan pada 2011 lalu.

Dipegang DJP2R
Ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih menilai, yang perlu diperhatikan terkait dengan rencana pembentukan bond stabilization fund adalah siapa pemegang akun dari dana stabilitas. Ia berpendapat, sebaiknya pemegang akun adalah Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (P2R).

Pasalnya, DJP2R lebih memahami kondisi pasar, dan kapan perlu untuk dikeluarkan. “Kalau yang melakukan eksekusi bukan DJP2R dan anggarannya harus diminta dulu, kekhawatiran ada koordinasi yang membuthkan waktu. Akibatnya buy back seharusnya sudah masuk, tapi sudah lewat,” kata Lana.

Sementara itu, Lana menuturkan, semestinya dana akun tersebut sudah dianggarkan dalam APBN. Mislanya, 1% atau kurang dari 1% dari total anggaran APBN bisa dicadangkan untuk fund tersebut. (ID)

JAKARTA kontan. Efek penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia ( BI rate) dari 7,75% menjadi 7,5% menjalar ke pasar reksadana. Apa saja imbas penurunan BI rate terhadap reksadana? Senior Fund Manager BNI Asset Management Hanif Mantiq mengatakan, penurunan BI rate bisa mendongkrak kinerja reksadana pendapatan tetap. Sebaliknya, kebijakan ini dapat memperlambat kinerja reksadana pasar uang. Dua jenis reksadana ini paling sensitif dengan BI rate. Maklum, aset dasar reksadana pendapatan tetap mayoritas berupa surat utang. "Dan mayoritas aset dasar reksadana pasar uang adalah deposito,” ujar Hanif, kemarin. Penurunan BI rate bakal menekan yield surat utang. Alhasil, harga surat utang di pasar sekunder ikut naik. Imbal hasil reksadana pendapatan tetap pun terkerek. Di sisi berbeda, Hanif menyatakan, bunga deposito perlahan akan turun seiring koreksi BI rate. Ini dapat menekan imbal hasil reksadana pasar uang. Presiden Direktur Bahana TCW Investment Management Edward Lubis memperkirakan, bunga deposito akan turun mengikuti proyeksi BI rate. Prediksinya, BI rate akhir tahun ini bisa diturunkan lagi hingga ke level 7,25%. Ini berpotensi memangkas bunga deposito 50 basis poin, sepanjang tahun ini. Reksadana campuran yang berisi obligasi juga kecipratan berkah penurunan BI rate. Tapi, porsi obligasi di reksadana campuran tidak banyak. Kendati prospek obligasi bagus, Direktur Utama Samuel Asset Management Agus Basuki Yanuar, menyatakan belum berniat mengubah strategi portofolio reksadana campuran. "Kami tetap mengandalkan saham yang juga positif," ujar Agus. Di reksadana campuran Samuel, porsi aset dasar yang berupa saham 70%, obligasi 20%-25%, dan sisanya efek pasar uang. Manajer investasi tak banyak mengubah strategi portofolio reksadana setelah BI rate turun. Aset dasar deposito tetap dipertahankan. Sedangkan pada surat utang, lebih dipilih tenor panjang. Alasannya, menurut Edward, ekspektasi inflasi yang terukur dan membaiknya neraca perdagangan Indonesia bisa menekan yield surat utang negara (SUN) tenor panjang. Suplai SUN tenor panjang yang menyusut di tahun ini, menurut Fixed Income Fund Manager Ashmore Asset Management Indonesia Anil Kumar, ikut mendongkrak harga SUN tenor panjang. Infovesta Utama memproyeksikan return reksadana campuran sepanjang tahun 2015 sebesar 9%-11%, pendapatan tetap 7%-8%, dan pasar uang 6%-7%. Editor: Yudho Winarto


Jakarta- Tingkat pengembalian investasi (return) produk reksa dana pendapatan tetap (fixed income) selama Januari 2015 berhasil melampaui reksa dana saham. Berdasarkan data Infovesta Utama, rata-rata return reksa dana fixed income sebesar 3,31%, sedangkan reksa dana saham hanya sebesar 0,62%.
Return reksa dana fixed income juga berhasil mengalahkan reksa dana campuran yang sebesar 0,96%. Adapun pertumbuhan indeks harga saham gabungan (IHSG) selama Januari sebesar 1,19%.
Produk reksa dana fixed income yang dikelola oleh PT Mega Capital Investama, yaitu Mega Dana Ori Dua, merupakan produk dengan return tertinggi sebesar 9,74%. Produk reksa dana Mega Capital lainnya, yakni Mega Dana Pendapatan Tetap, berada di posisi dua dengan return 9,54%.
Analis Infovesta Utama Yosua Zisokhi mengatakan, prospek reksa dana fixed income pada kuartal I tahun ini memang lebih baik dibandingkan reksa dana saham dan campuran. “Salah satu penyebabnya adalah inflasi yang turun, sehingga harga obligasi terangkat,” kata Yosua kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (3/2).
Namun, menurut dia, kinerja bagus reksa dana fixed income diperkirakan tidak akan berlangsung hingga akhir tahun ini. Sebab, kinerja obligasi akan tertekan oleh rencana Bank Sentral AS yang akan  menaikkan suku bunga acuan tahun ini. Hingga akhir 2015, reksa dana fixed income diproyeksi memberikan return sebesar 6,8-7,4%.
Sementara itu, analis Panin Asset Management Rudiyanto mengungkapkan, kinerja produk reksa dana fixed income tetap menarik. Menurut dia, return produk reksa dana fixed income dalam setahun biasanya berada pada kisaran 8%. “Tapi rata-rata return reksa dana fixed income sudah mencapai 4-6% dalam satu bulan,” ujar dia.
Rudiyanto menegaskan, faktor yang mempengaruhi kinerja reksa dana fixed income adalah deflasi yang terjadi pada Januari. Terjadinya deflasi pada bulan lalu membuat nilai surat utang terangkat, sehingga berpengaruh langsung terhadap return produk reksa dana fixed income.
Pada Januari tahun ini, investor dikejutkan oleh deflasi yang terjadi karena kebijakan pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Padahal, pada akhir tahun lalu, inflasi tercatat terjadi cukup tinggi, karena kebijakan penaikan harga BBM.
Menurut Rudiyanto, produk reksa dana fixed income masih akan bagus dalam satu hingga dua bulan ke depan. “Satu hingga dua bulan ke depan kenaikan masih bisa terjadi,” ungkap dia.
Sementara itu, produk reksa dana yang dikelola PT Panin Asset Management dan PT BNI Asset Management mencetak return paling tinggi pada kelompok reksa dana saham dan campuran selama Januari 2015.
Pada kelompok reksa dana saham, return Panin Dana Prioritas paling tinggi sebesar 3,88%. Sedangkan produk reksa dana campuran BNI Asset, yaitu Dana Berkembang, mencetak return sebesar 6,81% atau paling tinggi pada kelompok campuran.
Yosua memperkirakan, return reksa dana saham hingga akhir 2015 berkisar 8,8-11,6%. Sedangkan return reksa dana campuran sebesar 7,9-9,8%. Kedua jenis reksa dana tersebut diperkirakan tumbuh tidak terlalu jauh dengan proyeksi pertumbuhan IHSG hingga akhir tahun ini sebesar 11%.

Penulis: Muhammad Rausyan Fikry/PCN
Sumber:Investor Daily